Rabu, 16 Maret 2011

Saragih

Saragih adalah marga atau morga dari suku Simalungun yang aslinya berasal dari daerah yang bernama Simalungun di provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

Etimologi

Secara Etimologis, Saragih berasal dari "simada ragih" dalam bahasa Simalungun, yang mana "ragih" berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.


Asal-usul

Beberapa versi sumber sejarah menyatakan bahwa leluhur marga saragih berasal dari Selatan India, yang melakukan perjalanan ke Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.

Akibat desakan suku setempat, mereka kemudian bergerak ke daerah pinggiran Toba dan Samosir

Marga Saragih pertama (Hasusuran-1) itu sendiri muncul saat salah seorang Puanglima (Panglima) dari kerajaan Nagur dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan selanjutnya mendirikan satu kerajaan baru di Raya (di sekitar daerah yang kini disebut Pematang Raya, Simalungun).

Daftar Raja Kerajaan Raya:

  1. Tuan Si Pinang Sori
  2. Raja Raya, Tuan Lajang Raya
  3. Raja Raya Simbolon (Namanya memakai nama wilayah kerajaannya, sebab tidak diketahui lagi siapa nama aslinya)
  4. Raja Gukguk
  5. Raja Unduk
  6. Raja Denggat
  7. Raja Minggol
  8. Raja Poso
  9. Raja Nengel
  10. Raja Bolon
  11. Raja Martuah
  12. Raja Raya Tuan Morahkalim
  13. Raja Raya Tuan Jimmahadim, Tuan Huta Dolog
  14. Raja Raya Tuan Rondahaim
  15. Raja Raya Tuan Sumayan (Kapoltakan)
  16. Raja Raya Tuan Gomok (Bajaraya)
  17. Tuan Yan Kaduk Saragih Garingging

Sebagian suku Batak Toba mengklaim bahwa marga Saragih dari suku Simalungun berasal dari Samosir (daerah yang dipercayai sebagai asal-usul suku Batak Toba) dan termasuk kelompok marga-marga yang disebut Parna (PomparAn ni Raja Nai Ambaton). Paham ini banyak ditentang oleh Marga Saragih karena belum adanya dokumen yang mendukung hal ini dan terutama karena bertentangan dengan isi pustaha (dokumen tua Simalungun) dan buku tarombo (silsilah dan sejarah marga) yang diteruskan secara turun temurun di kalangan marga Saragih.


Submarga Saragih

Saragih terdiri dari banyak sub-marga, antara lain:

  1. Garingging
    1. Dasalak
    2. Dajawak
    3. Permata
  2. Damuntei
  3. Sumbayak
  4. Siadari
  5. Siallagan
  6. Sidabalok
  7. Sidabukke
  8. Sidabutar
  9. Sidauruk
  10. Sigalingging
  11. Sijabat
  12. Simanihuruk
  13. Simarmata
  14. Sitanggang
  15. Sitio
  16. Napitu
  17. Rumahorbo
  18. Tamba
  19. Tinambunan
  20. Turnip
  21. Nasionggang
  22. Saing


Tokoh terkenal

Tokoh-tokoh terkenal yang bermarga Saragih adalah:

  • H. A. Yunus Saragih, Bupati Langkat
Bill Amirsjah Rondahaim Saragih.
Pendeta Dj. Wismar Saragih Sumbayak


Marga Simalungun Lain

Selain Saragih, di suku Simalungun terdapat 3 marga lain yang dikategorikan sebagai marga asli Simalungun, yaitu:

  1. Damanik
  2. Purba
  3. Sinaga


READMORE - Saragih

Damanik

Damanik adalah marga atau morga dari suku Simalungun yang aslinya berasal dari daerah yang bernama Simalungun di provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), yang mana dalam bahasa Simalungun Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas). TM. Muhar Omtatok menguraikan bahwa Damanik merupakan marga tertua dari suku Simalungun dan Batak. TM Muhar Omtatok juga mengungkapkan bahwa Damanik telah ada sejak kepercayaan lokal ada di Sumatera.

Asal-usul

Beberapa versi sumber sejarah menyatakan bahwa leluhur marga Damanik dan marga-marga lain dalam Suku Simalungun berasal dari Nagore (India Selatan) dan Pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5 , menyusuri Birma, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan Kerajaan Nagur dari raja dinasti Damanik.[1]

Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke Aceh, Langkat, Bangun Purba, hingga ke Bandar Khalipah sampai Batubara.

Pada abad ke-12, keturunan Raja Nagur mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola I dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya:[2]

  • Marah Silau (yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar)
  • Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola)
  • Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok)

Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.


“PERJALANAN SIMALUNGUN/DAMANIK DALAM TINJAUAN HABONARON”

Oleh sauhur ( M. Muhar Omtatok )

  1. A. DAMANIK 

Jika dirunut dari Dinasti Nagur, Damanik merupakan turunan dari Raja Nagur, yaitu Marah Silau – yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar, Soro Tilu – yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola, serta Timo Raya – yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok)

Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang mengaku sub-clan Damanik di Simalungun.

Damanik merupakan morga (marga) asli dan tertua di Simalungun. Jika Damanik diberi arti Simada Manik (pemilik manik), maka Damanik berarti Pemilik Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).

Sejak zaman Nagur, Damanik telah menjadi leader bagi tamadun marga lainnya. Sebagai marga bangsawan awal, Damanik mengatur tatanan kesimalungunan.

Jika direnungkan bahwa tiap-tiap raja goraha non Damanik adalah menantu Damanik sebagai Raja kala itu. Bukan sebuah ungkapan berlebihan jika Damanik mempengaruhi dan mewarnai etnografi, linguistik, sosiokultur maupun genetika marga lain.

Jika sebagian saudara kita, mengaitkan Damanik dengan Manik. Tentu Damanik boleh berbangga atas tawaran persaudaraan tersebut. Namun jika dilihat dari perjalanan panjang morga Damanik dalam tinjauan habonaron, maka sebuah kebenaran tidaklah boleh ditiadakan.

Justru kata ‘Damanik’ dan ‘Manik’ yang hanya dibedakan suku kata ‘Da’ menjadi menarik untuk dikaji.

Jika didengar bunyi-bunyi lingual condong berubah karena lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut bisa berdampak pada dua kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai membedakan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama. Dengan kata lain. perubahan itu masih dalam lingkup perubahan fonetis. Tetapi, apabila perubahan bunyi itu sudah sampai berdampak pada pembedaan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan itu disebut sebagai perubahan fonemis.

Penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan disebut Zeroisasi dalam ilmu bahasa. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa-bahasa di Indonesia.

Dalam bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu, kita menemukan banyak kata yang berubah dari aslinya. Misalnya, kata Sahaya menjadi Saya, Dahulu menjadi Dulu, Tetapi menjadi Tapi, dan lainnya.

Jika di Simalungun, kata Danau disebut Laut, sebutan yang diperuntukkan untuk sumber kumparan air yang besar, yang juga diperuntukkan untuk menyebut kata laut seperti dalam Bahasa Indonesia. Kata ‘Laut’ tersebut mengalami perubahan ketika disebutkan dalam bahasa Karo, menjadi ‘Lau’, dan terus bergeser pada bahasa Batak Toba menjadi ‘ Tao”. Sehingga keasliannya bisa kita urutkan menjadi: Laut (Simalungun) – Lau (Karo) – Tao (Batak Toba).

Jika diklasifikasikan zeroisasi, paling tidak ada tiga jenis, yaitu aferesis, apokop, dan sinkop. Kata Damanik dan Manik masuk dalam Aferesis, yaitu proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada awal kata. Misalnya: tetapi menjadi tapi, peperment menjadi permen, upawasa menjadi puasa. Pada kata-kata itu tampak jelas yang mana kata terdahulu dan kata berikutnya. Kata Tetapi, Pepermint dan Upawasa adalah lebih tua ketimbang kata Tapi, Permen maupun Puasa.

Begitu halnya dengan Damanik dan Manik,yang tampak terjawab kini. Yaitu Damanik adalah lebih tua atau terdahulu ketimbang Manik.

Disini dikatakan bahwa Damanik bukanlah afiliasi atau sub-clan dari marga lain, baik yang ada di Simalungun maupun di luar Simalungun.


DAMANIK DAN RANJI SERAT TUBUH

Ranji Serat Tubuh merupakan keilmuan kuno di masa animisme dan dinamisme. Ilmu ini memuasalkan huruf dengan titik-titik maya di tubuh manusia. Huruf atau carakan Jawa yakni ha na ca ra ka dan seterusnya diyakini penghayatnya sebagai sabda pangandikanipun dari Tuhan di Tanah Jawa.

Ketika agama-agama berikutnya masuk ke Nusantara, Keilmuan kuno ini mengalami adaptasi. Huruf Hijaiyah dalam Bahasa Arab yang masuk ke Nusantara bersama masuknya Islam. Dianggap juga memiliki kharisma mistis, sehingga Ilmu Ranji Tubuh-pun menggunakan huruf-huruf import tersebut.

Keilmuan warisan leluhur ini sering pula dikaitkan dengan elemen-elemen tertentu, misalnya Bumi, Air, Api, Udara, dan Ether. Filsuf Yunani, Empedocles (492-432 SM) menyebutnya sebagai 4 ‘akar‘ atau 4 ‘dasar‘. Hippocrates (460~377 SM), Bapak Kedokteran, juga menggunakan konsep keempat elemen ini untuk pengobatan, yaitu teori bahwa penyakit timbul akibat ketidakseimbangan 4 cairan dalam tubuh (Humorism). Di India, kelima elemen ini sudah dikenal sejak dari munculnya kebudayaan atau filsafat Hindu dan Buddha. Begitu juga di China dan Jepang.

Di India, Ilmu Ranji Tubuh hingga kini sangat popular. Diyakini bahwa pada tubuh memiliki titik-titik maya yang mereka sebut dengan Chakra. Maka Aura sebagai manifestasi warna tubuh, dikatakan muncul dari chakra tersebut.

Di Simalungun, Ranji Serat Tubuh sudah teramat lama ada, sebelum Islam, Kristen dan lainnya masuk ke Tanoh Namadear ini. Keilmuan sejenis di Simalungun disebut Adjion Rahoet Mahoerei. Keilmuan ini Dipergunakan sebagai ‘Bohal Manggoluh’ bagi Pandihar (Pesilat) serta penghayat keilmuan Hadatuan (Pengobatan Tradisi). Di Simalungun klasik, keilmuan ini menggunakan huruf-huruf dari Surat sappuluh Siah yang dikolaborasikan dengan titik-titik tubuh serta langkah tubuh.

Bagi pemuda-pemuda yang belajar Mandihar (bersilat) dan Hadatuan di Simalungun kala itu, dianjurkan untuk menghormati pimpinan-pimpinan gaib dari abjad diatas, dengan ritual khusus yang menyediakan sesaji berupa Ayam Merah yang disusun diatas daun dan diletakkan di tikar yang masih baru, sira pege yaitu cocolan garam, lada dan jahe 7 iris, bunga kembang sepatu 7 tangkai. Semua bahan ini dilingkari dengan benang putih.Dalam sebuah pustaha laklak diterangkan, bahan diatas dilengkapi dengan nira, air, rudang, minyak saloh, beras sangrai yang dibuat tepung, 19 lembar sirih, kue nitak (tepung beras dicampur gula aren) serta huruf-huruf dari Aksara Simalungun yang telah disediakan.

Seluruh murid mengelilingi tikar tempat sesaji dan huruf yang diletakkan, lalu sang Datu membacai mantra. Berikut contoh mantra yang saya yakini sudah mendapat pengaruh unsur luar, yaitu: “Borkat ma hamu RAJA I DABIYA, Borkat ma hamu TUAN DIBORAKU, Borkat ma hamu ASAL NABU, Borkat ma hamu SITUNAGORI, Borkat ma hamu TUWAN NABI ALLI, Borkat ma hamu si ALAM SADIYA, Borkat ma hamu si ALAM SADIA SAH, Borkat ma hamu si ALAM JAHARI, Borkat ma hamu TUWAN MARJANDIHI, Borkat ma hamu RAJA SIPORAT NANGGAR, Borkat ma hamu RAJA ENDAH DUNIYA, Borkat ma hamu RAJA DI PUSUK SUNGEI, Borkat ma hamu TUWAN NABI ALI MUHAMMAD, Borkat ma hamu TUWAN SI NAHAR NANGKIR, Borkat ma hamu OMPUNG ANGLAH TAALA, Borkat ma hamu PUWANG AJI BORAIL, harannya ham Puwang ni Surat Sapuluh Siyah, na mannaikhon hosah, iya Tuwanku Jungjunganku” .

Lalu murid disuruh memilih huruf yang disukainya secara intuitif. huruf inilah yang bisa dijadikannya sebagai pegangan berupa jimat dan sebagainya untuk menyatukan diri dengan alam gaib. huruf yang dipilih bisa di jadikan mantra handalan. Dalam Pustaha Laklak, ada beberapa mantra yang digunakan dengan membaca huruf yang dipilih tadi, membacanya dengan mandoding yaitu bersenandung; misalnya untuk Pagar Pertahanan.

Kembali ke Adjion Rahoet Mahoerei atau Ilmu Ranji Serat Tubuh ala Simalungun. Dalam keilmuan yang dalam tulisan ini sekadar sebagai bahan kajian saja, ada disebutkan 4 huruf inti sebagai pusat Tonduy, Sumangat yang mampu melahirkan kekuatan tenagadalam. Empat huruf itu adalah ‘Da – Ma – Na – K’.

‘Da – Ma – Na – K’ disebutkan mempunyai tempat khusus di tubuh. (Da) berfungsi sebagai ‘Daoh-daoh’, yaitu memukul dari posisi tidak langsung namun bisa melumpuhkan lawan. Da ini terletak pada titik di kening diantara dua alis dan beberapa tempat lain dengan jurus dihar tertentu pula.

(Ma) berfungsi sebagai ‘Magang’, yaitu membuat tubuh berkharisma dan disegani lawan maupun kawan. Ma ini terletak pada titik di atas mata sebelah atas alis dan tempat lain pada tubuh.

(Na) berfungsi sebagai ‘Nae’, yaitu kaki yang mampu melangkah gesit dan melangkah ke sasaran yang tepat. Na terletak pada titik di bawah kemaluan serta di beberapa titik lain pada tubuh.

Sedangkan (K) tidak berhuruf karena ia adalah ‘Kurusani’, yaitu elemen induk besi yang diyakini sudah diberikan ‘Naibata’ sejak lahir di dalam tubuh. Jika dilatih dan dihidupkan, Kurusani atau indung ni bosi ini mampu membuat kebal, kekuatan dan ketahanan tubuh.

Dari uraian ini, saya menarik hipotesa bahwa selain berasal dari Simada Manik yaitu yang memiliki kharisma spiritual; Damanik adalah sebutan yang berasal dari urutan huruf ‘Da – Ma – Na – K’ tersebut, hingga selanjutnya disebut ‘Da – Ma – Ni – K’.

Kelebihan yang terkandung dari serat ranji tubuh ‘Da – Ma – Na – K’, yang mampu melumpuhkan lawan, memiliki tubuh berkharisma dan disegani lawan maupun kawan, mampu melangkah gesit dan melangkah ke sasaran yang tepat serta terlahir kebal, kuat dan memiliki ketahanan tubuh, adalah ejawantah dari Marga Damanik, sejak masa awal, Nagur, Siantar dan kiranya sampai kini.

Inilah bukti “PERJALANAN SIMALUNGUN/DAMANIK DALAM TINJAUAN HABONARON”, sebagai etnis/marga tua yang berbudaya dan memiliki peradaban yang tinggi.


Sistem Politik

Pada masa sebelum Belanda masuk ke Simalungun, suku ini terbagi ke dalam 7 daerah yang terdiri dari 4 Kerajaan dan 3 Partuanan.[4]

Kerajaan tersebut adalah:

  1. Siantar (menandatangani surat tunduk pada belanda tanggal 23 Oktober 1889, SK No.25)   2. Panei (Januari 1904, SK No.6)   3. Dolok Silou   4. Tanoh Djawa (8 Juni 1891, SK No.21) 

Sedangkan Partuanan (dipimpin oleh seseorang yang bergelar "tuan") tersebut terdiri atas:

  1. Raya (Januari 1904, SK No.6)   2. Purba   3. Silimakuta 

Kerajaan-kerajaan tersebut memerintah secara swaparaja. Setelah Belanda datang maka ketiga Partuanan tersebut dijadikan sebagai Kerajaan yang berdiri sendiri secara sah dan dipersatukan dalam Onderafdeeling Simalungun.

Dengan Beslit tanggal 24 April 1906 nomor 1 kemudian diperkuat lagi dengan Besluit tanggal 22 Januari 1908 nomor 57, Raja Siantar Sang Nahualu dinyatakan dijatuhkan dari tahtanya selaku Raja Siantar oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintahan kerajaan Siantar, menunggu akil baligh Tuan Kodim dipimpin oleh suatu Dewan Kerajaan terdiri dari Tuan Marihat, Tuan Sidamanik dan diketuai oleh Kontelir Simalungun.

Setelah dibuangnya Raja Siantar Sang Naualuh dan Perdana Menterinya Bah Bolak oleh Belanda dalam tahun 1906 ke Bengkalis, maka sudah ratalah kini jalan untuk memaksakan Dewan Kerajaan Siantar yang diketuai Kontelir Belanda itu dan dibentuklah Besluit tanggal 29-7-1907 nomor 254 untuk membuat Pernyataan Pendek (Korte Verklaring) takluknya Siantar kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dari isi surat-surat dokumen Belanda dapatlah direka yang tersirat bahwa dimakzulkannya dari tahta Siantar Tuan Sang Nahualu dan dibuangnya ia bersama perdana menterinya Bah Bollak ke Bengkalis 1906, adalah terutama karena background : Ia bersama hampir seluruh Orang-orang Besar Kerajaan Siantar adalah anti penjajahan Belanda; bahwa merembesnya propaganda Islam ke Simalungun khususnya dan Tanah Batak umumnya tidaklah disenangi oleh penjajah Belanda.

Pada 16 Oktober 1907 oleh Tuan Torialam (Tuan Marihat) dan Tuan Riah Hata (Tuan Sidamanik), melalui Verklaring (Surat Ikrar), dinyatakan tunduk kepada Belanda.

Dalam butir satu dari Verklaring yang memakai aksara Arab Melayu dengan Bahasa Melayu dan aksara Latin dengan Bahasa Belanda itu, tertulis, “

Ten eerste: dat het landschap Siantar een gedeelte uitmaakt van Nederlandsch Indie en derhalve staat onder de heerschappij van Nederland..” (Pertama: bahwa wilayah Siantar merupakan bagian dari Hindia Belanda dan karena itu berada di bawah kerajaan Belanda…). Masih ditambahkan bahwa akan setia kepada Ratu Belanda dan Gubernur Jenderal.

Sejak Surat Ikrar Torialam dari Marihat dan Riah Hata dari Sidamanik itu, Kerajaan Siantar akhirnya di bawah pengawasan Belanda. Belanda kemudian menobatkan putra Sang Naualuh bukan dari permaisuri, yang masih teramat muda, Tuan Riah Kadim menjadi raja pengganti. Tuhan Riah Kadim yang masih polos itu kemudian diserahkan Belanda kepada Pendeta Zending Guillaume di Purba. Pada Tahun 1916, Tuhan Riah Kadim diubah namanya menjadi Waldemar Tuan Naga Huta dan diakui Belanda sebagai Raja.( Suntingan dari Muhar Omtatok , Erond Damanik dan Juandaha Raya Purba Dasuha).


Selain 3 partuanan yang tersebut atas masih terdapat beberapa partuaan yang lain antara lain:

  1. Parbalogan (tuan parbalogan op.Dja Saip Saragih Napitu) yang wilayahnya dari parmahanan hingga ke tigaras
  2. Si Tahan Batoe Toean Van Si Polha , Si Ria Kadi Toean Van Manik Si Polha , Toean Gurasa Dolok Sumurung / Bandar Sipolha , Toean Intan Pulo Bosar Sipolha , Tuan Kalabosar ( Dolok Maraja Sipolha ), Tuan Paraloangin ( Jambur Na Bolag Sipolha ), Tuan Parangsangbosi ( Paribuan Sipolha ) semua Keturunan Raja Naposo Damanik.
  3. Si Tahan Batoe Toean Van Si Polha / Toean Laen / Nai Tukkup , salah satu keturunannya adalah Tuan Jahutar Damanik dan Tuan Humala Sahkuda Damanik ( Hutabolon Sipolha ) orang tua dari: Tuan Djapurba Damanik, Tuan Djabagus Damanik, Tuan Djabanten Damanik, mantan Bupati Kabupaten Simalungun, Tuan Djahormat Damanik, Mora br.Damanik, Mayun br. Damanik.
  4. Si Ria Kadi Toean Van Manik Si Polha / Toean Markadim / Nai Simin , keturunannya sebagai berikut pada no 5 , 6 , 7 :
  5. Tuan Paraloangin Damanik ( Tuan Jambur Na Bolag Sipolha ) dengan laweinya Radja Israel Sinaga Prapat dari Parapat salah satu keturunannya adalah Tuan Labuhan Asmin Damanik ( Tuan Jambur Na Bolag berikutnya ) keturunannya adalah Prof.DR SC Reynold Kamrol Damanik ( USU ) , Prof DR David Tumpal Damanik ( USA ) , Cand.DR.Ec Daulat Damanik MA. ( Jerman ).
  6. Tuan Parangsangbosi Damanik ( Tuan Paribuan Sipolha ) salah satu keturunannya adalah Brigjen Pol (Purn) Muller Damanik , SH ( Mantan Rektor USI P.Siantar).
  7. Tuan Kalabosar Damanik ( Tuan Dolok Maraja Sipolha ) salah satu keturunannya adalah Ir. Syamsirun Damanik ( mantan salah satu Direktur Kem. Pertanian RI ) , Drs Pangsa Damanik.
  8. Toean Gurasa Dolok Sumurung / Bandar Sipolha , salah satu keturunannya Mayjen TNI (Purn) Pieter Damanik ( Mantan Dubes RI di Philipina ) , Ir Djagunung Damanik , Revol Damanik.
  9. Sipintu angin (tuan op.S.Saragih Turnip) merupakan orang tua dari Saragih Ras. Yang hingga kini tugunya (tugu hoda bottar)masih terlihat di Perbatasan Panatapan Ds.Tigaras


DENGAN KORT VERKLARING, 16 OKTOBER 1907, BELANDA MEMBAGI KERAJAAN SIANTAR MENJADI 37 PERBAPAAN dan tuan SAUADIM, DAMANIK KE XV, PERBAPAAN DARI BANDAR diangkat BELANDA MENJADI RAJA SIANTAR yang berakhir sampai tahun Revolusi Simalungun 1946.

3. SURAT IKRAR

Bahwa ini ikrar kami :

Si Tori Alam , Tuan Marihat dan Si Ria Hata Tuan Sidamanik.

Yaitu : bersama masuk komisi pemerintahan jajahan negeri Siantar mengaku tiga perkara yang tersebut di bawah ini , yaitu :

Pasal yang pertama.

Bermula ikrar kami bahwa sesungguhnya negeri Siantar jadi suatu bahagian daripada Hindia Nederland , maka takluklah negeri Siantar itu kepada kerajaan Belanda , maka wajiblah atas kami selama-lamanya bersetia kepada Baginda Sri Maharaja Belanda dan kepada wakil baginda yaitu Sri Paduka yang dipertuan besar Gubernur Jenderal Hindia Nederland , maka oleh Sri Paduka yang dipertuan besar Gubernur dikurniakan kepada kami jabatan pemerintahan di dalam Negeri Siantar.

Pasal yang kedua.

Maka mengakulah dan berjanjilah kami , bahwa kami tiada akan membicarakan suatu apa dari pada ikwal kami dengan Raja - raja yang asing , melainkan musuh Baginda Sri Maharaja itu musuh kami , begitu juga sahabat Sri Maharaja Belanda itu Sahabat kami adanya.

Pasal yang ketiga.

Bahwa mengakulah dan berjanjilah kami , bahwa sesungguhnya segala peraturan hal ikwal Siantar , baik yang telah diaturkan , baik yang akan diikrarkan oleh atau dengan nama Baginda Sri Paduka yang dipertuan besar Gubernur Jenderal Hindia Nederland atau wakilnya semua pengaturan itu kami hendak menjalankan akan segala perintah yang diperintahkan kepada kami , baik oleh Sri paduka yang dipertuan besar Gubernur Jenderal baik oleh wakilnya , semua perintah itu kami hendak menurutkan juga adanya. Demikianlah Ikrar yang telah kami mengaku dengan bersumpah di Pematang Siantar pada enam belas Oktober 1907, dan tersurat tiga helai yang sama bunyinya.

Si Tori Alam

Si Ria Hata

( Anggota dari komisi Kerajaan Siantar )

Disaksikan oleh Si Jure Lucan O'Brien , Controleur Simalungun. Ikrar ini disyahkan dan dikuatkan pada tanggal 22 Januari , 1908.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda

d.t.o

( V.Heutz )


4. Proces - Verbal / Berita Acara.

Pada hari ini tanggal 16 Oktober 1907 hadir di hadapan saya Jure Lucan O'Brien . Controleur Simalungun.

Op heden , den Zestienden october negentien honderd en zevend , voor mij , J.L.O'Brien , Controleur van Simeloengoen.

  1. Si Saoeadim , Toean Van Bandar   2. Si Badjandin , Toean Van Bandar Poelau   3. Si Kani , Toean Van Bandar Bajoe   4. Si Djamin , pemangkoe Van Toean Negeri Bandar   5. Si Mia , Toean Van Si Malangoe   6. Si Kama , Roumah Suah   7. Si Bisara , Nagodang   8. Si Djommaihat , Toean Kahaha   9. Si Djarainta , Toean Boentoe  10. Si Djandioeroeng , Toean Dolok Siantar  11. Si Silim , Toean Van Bandar Sakoeda  12. Si Djontahali , Toean Van Mariah Bandar  13. Si Rimmahala , Toean Van Naga Bandar  14. Si Kadim , Toean Van Bandar Tonga  15. Si Tongma , Bah Bolak Van Pematang Siantar  16. Si Naman , Toean Van Lingga  17. Si Djaha , Toean Van Bangoen  18. Si Djibang , Toean Van Dolok Malela  19. Si Djandiain , Toean Van Silo Bajoe  20. Si Lampot , Toean Van Djorlang Hataran  21. Si Djanji-arim , Toean Van Maligas Bandar  22. Si Djadi , Toean Van Sakuda  23. Si Radjawan , Toean Van Gunung Maligas  24. Si Djaoelak , Toean Van Tamboen  25. Si Tahan Batoe , Toean Van Si Polha  26. Si Ria Kadi , Toean Van Manik Si Polha  27. Si Ganjang , Toean Van Repa  28. Si Djoinghata , Toean Van Pagar Batoe  29. Si Djaingot , Toean Van Si Lampoeyang  30. Si Djaoeroeng , Toean Van Gadjing  31. Si Mahata , Toean anggi Van Sidapmanik  32. Si Bandar , Toean Manik Hataran  33. Si Takkang , Toean Van Tamboen Rea  34. Si Rian , Toean Van Manik Maradja  35. Si Marihat , Toean Van Perbalogan  36. Si Pinggan , Toean Van Hoeta Bajoe  37. Si Djoegmahita , Toean Van Manggoetoer 

Dimana mereka sebagai para kepala kerajaan / perbapaan , dihadapan saya telah menerangkan dan bersetuju dengan keterangan yang dibuat ini hari oleh komisi kerajaan Siantar dengan kehadirannya atas sumpah dan dikuatkan dalam ikrar ini. Demikian diperbuat ikrar ini berdasarkan berita acara dengan tiga rangkap.

Pematang Siantar , 16 Oktober 1907.-

Controleur Simalungun.

d.t.o

( Jure Lucan O'Brien )

( dalam Tulisan , Jahutar Damanik , NPV : 2.029.293, Raja Sang Naualuh , Sejarah Perjuangan Kebangkitan Bangsa Indonesia , Medan medio 1981 cetak ulang tahun 1987 )


Partuanan-partuanan ini tidak pernah tunduk kepada pemerintahan Belanda saat itu, di daerah dilakukan perlawanan perlawanan kecil secara bergerilya.


READMORE - Damanik

Sinaga

Sinaga adalah salah satu marga pada suku Simalungun. Pada masyarakat Simalungun marga Sinaga merupakan bagian dari perkumpulan empat marga besar SISADAPUR. Pada versi lain, Sinaga juga dianggap sebagai salah satu marga pada Suku bangsa Batak yang berasal dari Pulau Samosir.

Asal-usul

Versi Toba

Menurut versi Toba, Sinaga adalah satu diantara marga-marga tertua di dalam kumpulan Marga Suku Batak. Dalam cerita masyarakat Batak, Raja Batak memiliki anak yang bernama Guru Tetea Bulan yang menikahi Putri Khayangan dan melahirkan dua anak yaitu Nai Lontungan dan Sumba. Nai Lontungan kemudian memiliki 5 putra yaitu Raja Uti, Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja, Silau Raja, dan 1 putri yaitu Boru Pareme. Saribu Raja menikahi Boru Pareme dan memiliki keturunan yang diberi nama Si Raja Lontung. Si Raja Lontung menikahi Ibu Kandungnya tadi dan memiliki 4 anak, yaitu: Sinaga, Situmorang, Pandiangan dan Nainggolan. Si Raja Lontung kemudian merantau ke Tepian Danau Toba dan menikah dengan Boru Limbong dan memiliki anak 3 anak (Simatupang,Aritonang dan Siregar) dan 2 orang putri yang masing-masing menikah dengan marga Sihombing dan Simamora. Anak Si Raja Lontung yang pertama yaitu Sinaga memiliki Tiga Putra yaitu:

  1. Bonor
  2. Ratus
  3. Uruk.

Ketiga anaknya ini kemudian masing-masing memiliki Tiga Putra.

Berdasarkan silsilah diataslah maka di Marga Sinaga terdapat sebuah Istilah yaitu Si Sia Ama, Si Tolu Ompu yang berarti "memiliki Sembilan Bapak dan Tiga Ompu(kakek)."

Dalam perkembangannya Keturunan Sinaga merantau ke seluruh wilayah Tanah Batak, hal tersebut mengakibatkan terciptanya marga-marga baru (sub Marga) Sinaga, namun marga-marga baru tersebut tetap meyakini bahwa leluhur mereka adalah Sinaga. Adapun Marga-Marga tersebut antara lain Parangin-angin (Karo).


Versi Simalungun

Menurut versi Simalungun, Sinaga menjadi salah satu dari 4 marga asli suku Simalungun saat terjadi “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara 4 raja besar (Raja Nagur, Raja Banua Sobou, Raja Banua Purba, Raja Saniang Naga) untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).

Keturunan dari Raja Saniang Naga di atas adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad XIV, pasukan dariJambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga. Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon).[1]

Beberapa sumber mengatakan bahwa Sinaga keturunan raja Tanoh Djawa berasal dari India, salah satunya adalah menurut Tuan Gindo Sinaga keturunan dari Tuan Djorlang Hatara. Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daerah Naga Land (Tanah Naga) di India Timur yang berbatasan dengan Myanmar yang memang memiliki banyak persamaan dengan adat kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan suku Simalungun dan Batak lainnya.[2]


Submarga Sinaga

Perbauran suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya menimbulkan afiliasi marga-marga lain dengan Sinaga. Marga-marga tersebut antara lain Sipayung, Sihaloho, Sinurat, dan Sitopu.

Saktiawan Sinaga

Tokoh terkenal


READMORE - Sinaga